Dalam masyarakat Jawa, perkawinan merupakan salah satu siklus penting dalam kehidupan manusia. Manusia dianggap telah sempurna hidupnya jika telah menikah. Diharapkan dengan menikah, maka akan terbentuk sebuah keluarga baru yang nantinya akan mempunyai keturunan sebagai generasi penerus keluarga tersebut. Begitu pentingnya perkawinan sehingga perlu diadakan upacara/slametan untuk menyambutnya. Sep
erti dikemukakan Prof. Koentjaraningrat, bahwa upacara perkawinan pada dasarnya merupakan suatu peralihan terpenting dalam daur hidup seseorang, yaitu peralihan dari tingkat hidup remaja ke tingkat hidup berkeluarga. Inti dari upacara pernikahan adalah akad nikah, yang disusul dengan panggih, sungkeman, dan walimahan. Dalam upacara panggih, pengantin menjadi pusat perhatian karena merupakan inti acara dan dapat diibaratkan sebagai raja sehari. Untuk itu pengantin dirias sedemikian rupa supaya berbeda dengan kesehariannya dan disesuaikan dengan kedudukannya sebagai raja sehari
Salah satu tata rias dan busana pengantin adalah Paes Ageng Gaya Yogyakarta. Sampai masa pemerintahan Sultan Sultan HB VIII, paes ageng ini hanya boleh dikenakan oleh kerabat raja. Baru pada masa pemerintahan raja berikutnya, Sultan HB IX (1940), mengijinkan masyarakat umum memakai busana ini dalam upacara pernikahan. Sampai saat ini, Busana Paes Ageng masih terus digunakan dalam upacara pernikahan di kalangan masyarakat Jawa, terutama pada kalangan masyarakat menengah ke atas. Hal ini dikarenakan biaya yang diperlukan cukup besar, baik dalam urusan busana maupun perlengkapannya. Pemakaian busana paes ageng sangat rumit, memerlukan ketekunan dan ketelitian yang didalamnya terkandung kesakralan maupun makna filosofi dalam setiap detail rias wajah, busana, dan asesorinya. Untuk itu segala sesuatu yang berhubungan dengan paes dipercayakan pada seorang juru rias paes pengantin. Baik perias maupun pengantin putri yang dirias wajib berpuasa sebelum menjalankan acara. Tujuan utamanya adalah mengendapkan perasaan untuk membersihkan jiwa dan menguatkan batin agar dapat melaksanakan tugas dengan baik dan terhindar dari malapetaka. Masyarakat Jawa percaya bahwa kebersihan dan kekuatan batin juru rias akan menjadikan pengantin yang diriasnya cantik molek dan bersinar
Sejak zaman raja-raja Mataram, pengantin putri selalu menjadi pusat pandang karena setiap detail yang dipakainya mengandung makna filosofi yang sangat agung dan tidak semua orang mengetahuinya