27/10/2017
Hukum Aqiqah
Setelah kita melihat hadits-hadits tentang pensyariatan aqiqah di atas, lantas apakah hukum aqiqah itu sendiri? Wajib ataukah sunnah?
Mengenai masalah ini, para ulama terdapat silang pendapat.
Berdasarkan hadits,
مَعَ الْغُلاَمِ عَقِيقَتُهُ فَأَهْرِيقُوا عَنْهُ دَمًا
“Dari Salman bin 'Amir Adh Dhabbi, ia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Pada (setiap) anak laki-laki (yang lahir) harus diaqiqahi, maka sembelihlah (aqiqah) untuknya" (HR. Bukhari no. 5472), juga berdasarkan hadits lainnya, sebagian ulama menyatakan bahwa hukum aqiqah itu wajib semacam ulama Zhohiriyah (Daud, Ibnu Hazm, dkk), dan Al Hasan Al Bashri. Sedangkan jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa hukum aqiqah adalah sunnah. Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa hukum aqiqah itu tidak wajib dan juga tidak sunnah. –Demikian dikatakan oleh Asy Syaukani dalam Nailul Author-[4]
Hadits dari jumhur ulama yang menyatakan hukum aqiqah adalah sunnah berpegang pada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْسُكَ عَنْ وَلَدِهِ فَلْيَفْعَلْ
“Barangsiapa yang senang untuk mengaqiqahi anaknya, maka lakukanlah.”[5] Hadits ini menunjukkan bahwa aqiqah itu tidak wajib karena di sini dikatakan boleh memilih. Dalil ini adalah indikasi yang memalingkan perintah yang disebutkan dalam hadits-hadits yang memerintahkan aqiqah kepada perintah sunnah.[6]
Lalu bagaimana dengan pendapat Imam Abu Hanifah dan pengikutnya yang menyatakan bahwa hukum aqiqah tidak wajib dan tidak p**a sunnah?
Ibnul Mundzir –sebagaimana dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Al Fath- mengatakan, “Ulama Hanafiyah (ashabur ro’yi) yang mengingkari sunnahnya aqiqah telah menyelisihi hadits-hadits shahih mengenai hal ini. Sebagian mereka berdalil dengan hadits riwayat Imam Malik dalam Al Muwatho’ dari Zaid bin Aslam dari seorang Bani Dhomroh dari ayahnya, ia menanyakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai aqiqah. Jawaban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَا أُحِبّ الْعُقُوق
“Aku tidak menyukai aqiqah”, seakan-akan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyukai penamaan aqiqah. Lalu beliau bersabda,
مَنْ وُلِدَ لَهُ وَلَد فَأَحَبَّ أَنْ يَنْسَك عَنْهُ فَلْيَفْعَلْ
“Siapa saja yang dilahirkan anak untuknya, maka ia s**a dinusuk (diaqiqahi), maka lakukanlah.”[7]
Dalam riwayat Sa’id bin Manshur, dari Sufyan, dari Zaid bin Aslam dari seorang Bani Dhomroh dari pamannya, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya mengenai aqiqah sedangkan beliau di mimbar di Arofah, lalu beliau menyebutkan semacam tadi.” Hadits ini pun memiliki penguat dari hadits ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, dikeluarkan oleh Abu Daud. Dua hadits ini dikuatkan satu dan lainnya. Abu ‘Umr mengatakan, “Aku tidak mengetahui hadits tersebut marfu’ (sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) kecuali dari dua riwayat ini.” Al Bazzar dan Abusy Syaikh juga telah mengeluarkan hadits tentang aqiqah dari Abu Sa’id, namun hadits tersebut bukanlah jadi hujjah bagi yang menyatakan tidak disyari’atkannya aqiqah. Bahkan akhir hadits jelas-jelas menetapkan disyariatkannya aqiqah. Sedangkan yang dimaksud dalam hadits adalah lebih utama menyebut aqiqah dnegan nasikah atau dzabihah, dan dilarang menyebutnya dengan aqiqah. Telah dinukil dari Ibnu Abid Dam dari beberapa sahabat mengenai penamaan semacam ini sebagaimana tidak dis**ai p**a menyebut Isya dengan ‘atamah.”[8]
Kesimp**an: Aqiqah adalah suatu yang disyariatkan tidak sebagaimana pendapat ulama Hanafiyah. Hukumnya berkisar antara wajib dan sunnah. Sedangkan kami sendiri lebih cenderung pada pendapat jumhur (mayoritas) ulama yang menyatakan hukum aqiqah adalah sunnah. Namun sudah sepantasnya bagi orang yang mampu yang diberi kelebih rizki oleh Allah Ta’alatidak meninggalkan syari’at yang mulia ini.
Sayyid Sabiq -rahimahullah- memiliki perkataan yang amat baik. Beliau berkata, “Hukum aqiqah adalah sunnah muakkad(sunnah yang amat dianjurkan), walaupun si ayah (yang membiayai aqiqah) adalah orang yang dalam keadaan sulit. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tetap melakukan aqiqah , begitu p**a sahabatnya. Telah diriwayatkan oleh penyusun kitab sunan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengaqiqahi Al Hasan dan Al Husain masing-masing dengan satu ekor kambing. Sedangkan ulama yang mewajibkan aqiqah adalah Al Laits dan Daud Azh Zhohiri.”[9]
Sayyid Sabiq menyatakan bahwa jika si ayah dalam keadaan sulit sekalipun hendaklah melakukan aqiqah. Apa yang beliau utarakan senada dengan perkataan Imam Ahmad -rahimahullah-. Imam Ahmad pernah berkata,
إذَا لَمْ يَكُنْ عِنْدَهُ مَا يَعُقُّ ، فَاسْتَقْرَضَ ، رَجَوْت أَنْ يُخْلِفَ اللَّهُ عَلَيْهِ ، إحْيَاءَ سُنَّةٍ .
“Jika seseorang tidak memiliki kemampuan untuk mengaqiqahi (buah hatinya), maka hendaklah ia mencari utangan. Aku berharap ia mendapatkan ganti di sisi Allah karena ia berarti telah menghidupkan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
'i